Friday, April 15, 2011

"Raja Gazzele"

 (Flashfiction)
Sepenggal Chapter dari Novelku



Petang ini lantunan adzan maghrib telah terdengar dari corong speaker masjid Muqorrobin. Jamaah khitmad menempuh perjalanan spiritual saat dimana seorang hamba bisa mencapai jarak terdekat dengan Tuhannya, sujud. Gemericik air sungai di barat masjid kian terdengar jelas, suara-suara kebis...ingan mulai sirna dan jamaah mulai meninggalkan masjid menuju rumah masing-masing. Eyang Prio adalah jamaah paling jauh dari masjid kami, setiap hari berangkat dari desa Kricak yang bersebelahan dengan desa Bener tempat kami. Eyang Prio selalu mengayuh sepedanya warisan ayahnya terdahulu, konon ayah eyang Prio harus menjual empat ekor sapi hanya untuk membawa pulang sepeda merk Gazelle ke rumahnya. Sepeda yang dikayuh setiap waktu maghrib itu telah direkondisi pelek dan setangnya, beberapa bagian memang sudah tak layak pakai dan cucu eyang Prio paling bungsu si Imran membawanya ke bengkel sepeda ternama di daerah Serangan utara Masjid Kauman.

Bentuk dan tampilannya masih sama seperti waktu membeli, tak jarang para orang-orang kaya di perumahan Tirtasani menawar hingga lima koma tujuh juta. Eyang Prio selalu melontarkan kalimat ini saat orang mencoba menawarnya, tentunya dengan sedikit menggeser peci hitam ke kanan.
‘Sepuluh juta, dua ratus juta, seratus juta tak akan kuberikan sepeda antikku ini pada siapapun! Kau tau nak! Enak aja ini warisan bapakku dulu !’
Dia amat bangga memiliki sepeda merk Gazelle buatan Belanda tahun 1950-an itu, inilah ‘Marecedes Benz’ kesayangannya!. Tidak heran jika sejak dahulu harganya sudah cukup mahal. Konon harganya selalu mengikuti standar emas. Pada tahun 1950-an harga sebuah Gazelle baru setara dengan harga 2 ons emas.

Kakek dari tujuh orang cucu itu semakin menikmati perjalanannya dengan sepeda berlambang kijang sedang berlari itu, walau di rumah terdapat motor hadiah anaknya yang bekerja di Astra namun eyang Prio tak bergeming. Setiap ahad pagi bada Subuh, eyang Prio membangunkan cucu-cucunya dan anak-anak kampung dengan suara khas bel sepedanya yang antik itu, pawai-pun dimulai. Eyang keliling desa ke desa dengan ditemani anak-anak bersepeda, sepeda eyang Prio menjadi daya tarik tersendiri. Sepeda miliknya sudah tersohor di daerah kami.

‘Inikah sepeda itu?’, orang-orang mulai membicarakannya. Semua orang kagum dengan apa yang dilakukan eyang Prio, mencintai anak-anak dan ‘Marecedes Benz’ kesayangannya. Dari wajah tua dengan garis wajah yang terlihat jelas itu, aku temukan kekaguman. Dibalik kesetiaan prinsipnya aku temukan kehormatan. Dalam kesederhanaannya aku temukan kemuliaan. Inilah pecandu sepeda no satu di tempat kami, ‘raja sepeda’ Gazelle!.

(Nantikan kisah chapter berikutnya!)
Share:

2 comments:

attayaya-mading said...

waaah cerita bersambung neh
mantaap

moekzone said...

Iya, kan kalo langsung ga seru.... :)

© .: moekzone :. All rights reserved | Theme Designed by Seo Blogger Templates